Senin, 11 Juli 2011

Kelicikan dan kekejaman kristen

Siapa Radikal, Siapa Teroris?: Ketika
Kekejaman Kristen Tidak Disebut Teroris
Dalam kasus terorisme, media memang terkenal
tidak adil dalam memberitakan Islam. Islam
menjadi agama yang paling banyak disudutkan
dalam aksi kekerasan. Jika pada kasus
pemboman Bali, Gerakan Amrozi Cs dicari
sampai ke akar-akarnya, bahkan ditumpas tak
bersisa, menjadi lain ceritanya jika Kristen yang
melakukan tindakan sama. Seakan media
menjadi bungkam seketika.
Dalam kasus kerusuhan Poso misalnya,
pengadilan hanya berhenti pada nama tiga
orang terdakwa Fabianus Tibo, Dominggus da
Silva, dan Marinus Riwu, dan tidak pernah
diteruskan kepada siapa dibalik mereka sampai
ke anggota-anggotanya. Padahal jelas Tibo cs
bertindak atas nama gerakan.
Begitu juga dalam peberitaan internasional.
Bush dan serdadunya -yang dikorbankan
semangat Fundamentalisme Kristen-yang
membunuh jutaan umat muslim di Timur
Tengah, seakan-akan lenyap tanpa dosa.
Media-media pun tidak ada yang memanggil
Bush dengan sapaan teroris. Berbeda jika
Usamah Bin Ladin yang diberitakan, baik media
cetak maupun televisi ramai-ramai mencapnya
teroris tanpa mendudukan kronologis dan pra
asumsi yang berkembang.
Kita tentu bertanya-tanya, entah mengapa jika
Kristen yang melakukan aksi kekerasan, stigma
teroris menjadi kebal bagi mereka. Padahal
sejarah mencatat bagaimana kekejaman yang
dilakuakn Kristen bukanlah isapan jempol
semata, mereka tidak hanya membantai Islam,
tapi juga Yahudi, kaum Pagan, pelaku bid’ah
secara keji dan tak beradab. Tulisan ini bukan
untuk membangkitkan luka, namun bisa jadi
pelajaran bagi kita untuk meluruskan isu
seputar terorisme atas nama agama.
Pembunuhan Kaum Pagan [1]
Sejak agama Kristen diresmikan pada tahun
315 M, kuil-kuil kaum Pagan makin banyak
dihancurkan oleh pengikut Kristen. Pendeta
kaum pagan pun banyak dibunuh. Antara tahun
315 dan abad ke-6, ribuan orang penyembah
berhala disembelih. Dan itu semua dilakukan
atas nama misi Gereja.
Melaksanakan ritual ibadah pagan menjadi
sangat berbahaya bagi pelakunya dan
terancam hukuman mati, ini sudah terjadi mulai
tahun 356 Masehi. Kaisar Kristen Theodosius
(408-450M) bahkan membunuh anak-anaknya
sendiri karena mereka bermain-main dengan
patung-patung pagan. Menurut penulis
Christian Chronicles, kaisar yang melakukan hal
tersebut didasari akan kepatuhan terhadap
seluruh ajaran Kristen.
Akhirnya, pada abad ke 6 seluruh hak hidup
para penganut Pagan dinyatakan dicabut.
Bahkan sebelumnya pada awal abad ke-4,
filosof Sopratos dihukum mati atas perintah
penguasa Kristen.
Selanjutnya di tahun 415 M, Hypatia dari
Alexandria, seorang filosof wanita yang
terkenal, diseret kemudian dipotong-potong
tubuhnya oleh orang-orang Kristen Koptik
radikal yang dipimpin oleh pendeta Peter.
Hypatia sendiri adalah seorang ilmuwan Yunani
dari Alexandria Mesir. Hypatia dibunuh karena
menjadi penyebab kekacauan dalam agama. Ia
dijuluki sebagai "pembela ilmu pengetahuan
yang gagah berani melawan agama". Dan
beberapa pendapat mengatakan kematiannya
menandai akhir dari zaman Hellenistik dan
dimulainya zaman kegelapan (The Dark Ages).
Pembunuhan Atas Nama Misi Gereja
Selain membunuh secara kejam dan membabi
buta kaum pagan, Kristen juga melakukan
terorisme dan kesadisan terhadap mereka-
mereka yang tidak mau ikut agamanya. Kaisar
Karl (Charlemagne), misalnya, pada tahun 782
M tanpa punya nurani memenggal kepala 4500
orang Saxon, karena mereka tidak mau
memeluk agama Kristen.
Kaum tani yang tidak mau membayar
sumbangan kepada Gereja pun mengalami hal
serupa. Mereka dijatuhi hukuman mati layaknya
manusia penuh dosa. Jumlahnya pun tidak
main-main, antara 5000 sampai 11.000 pria,
wanita dan anak-anak, dibunuh pada tanggal
27 Mei 1234 dekat Altenesch (Jerman).
Lalu pada abad ke 16 dan 17 M, tercatat
puluhan ribu warga Irlandia dibunuh. Pasukan
Inggris terjun ke wilayah ini semata-mata demi
menjinakkan orang-orang Irlandia yang liar.
Mereka di anggap tidak lebih dari binatang
yang hidup tanpa mengindahkan hukum-hukum
Tuhan. Seorang pimpinan tentara Inggris yang
terkenal kejam adalah Humphrey Gilbert yang
memerintahkan untuk memenggal kepala
semua tawanan.
Pembantaian Dalam Perang Salib
Belum lagi fakta, di Semlin dan Wieselburg
(Hungaria), pada tanggal 12 sampai 24 Juni
1096 ribuan orang dihilangkan nyawanya
secara kejam. Hanya dalam waktu hitungan hari
dari tanggal 9 sampai 26 September 1096
sekitar 1000 orang dibunuh di Nikala atau
Xerigordon (Turki).
Kita juga tidak lupa pada tanggal 11 Desember
1098, seribu orang Muslim di bantai di Marra.
Tentara Salib yang lapar karena kehabisan
makanan sampai-sampai mengambil daging
mayat musuh yang sudah mulai membusuk dan
memakannya (Christian Chronicle, Albert
Aquensis).
Penaklukkan kota Jerusalem yang terjadi pada
tanggal 15 Juli 1099 pun dihiasi kematian
60.000 warga Muslim, Yahudi, laki-laki dan
anak-anak, yang dibunuh secara keji oleh
Pasukan Perang Salib. Puluhan ribu kaum
muslim yang mencari penyelamatan diatas
masjid Al Aqsha pun dikejar sampai dapat dan
mereka dibantai dengan sangat sadis.
Kekejaman demi kekejaman pasukan salib
memang sulit dinalar oleh akal sehat. Setahun
sebelumnya, pada tahun 1098, pasukan tentara
bengis itu telah membunuh ratusan ribu kaum
muslim di Arra’t-un-Noman, salah satu kota di
Syria. [2] Mereka bergerak atas “sabda” Paus
Urban yang menyeru “Killing these godless
monsters was a holy act: it was a Christian Duty
to exterminate thi vile race from our lands” atau
“Membunuh para monster tak bertuhan itu
adalah tindakan suci: adalah kewajiban umat
Kristen untuk memusnahkan angsa jahat itu dari
wilayah kita.”
Salah satu saksi mata sampai-sampai
menyatakan bahwa ,"Genangan darah manusia
di depan Kuil Solomon setinggi pergelangan
kaki orang dewasa”. Sedangkan, salah seorang
penulis Kristen bernama Eckehad dari Aura
mengatakan, “bahkan berlanjut hingga musim
panas, udara di seluruh Palestina masih
tercemari oleh bau mayat-mayat yang
membusuk".
Pembunuhan Terhadap Orang Bid’ah (Inkuisisi)
Sejatinya, Inkuisisi (dengan huruf I besar)
adalah istilah yang secara luas digunakan untuk
menyebut pengadilan terhadap bidaah oleh
Gereja Katolik Roma. Undang-undang ini
mengandung peraturan-peraturan yang sangat
keras. Sanksi pelaku bid’ah bahkan bisa sangat
mengerikan daripada kaum pagan yang jelas-
jelas kafir dalam konsep mereka.
Dalam sejarahnya, Gereja Trinitarian yang
menjatuhkan keputusan bersalah kepada
seorang pelaku bid’ah akan memberikan
hukuman tak berperi dari mulai penyiksaan,
pembakaran sampai pemenggalan kepala.
Kasus ini sempat menimpa kaum Manichaean.
Kaum Manichean adalah salah satu sekte yang
dinyatakan bid’ah dalam Kristen karena
melakukan praktek pengendalian kelahiran (KB)
yang tidak diajarkan oleh Gereja Katholik.
Bayangkan karena hal itu, ribuan orang
Manichean menjadi korban seiring kampanye
besar-besaran ke seluruh kekaisaran Romawi
antara tahun 372 M sampai 444 M.
Selain pembasmian yang menimpa kaum
Manichean, hal serupa juga menimpa kelompok
Cathars. Orang-orang Cathars pada dasarnya
menganut Kristen dengan baik, tetapi pada sisi
lain mereka menolak segala peraturan Gereja
Katholik Roma yang dirasa tidak adil seperti
pajak dan larangan pengendalian kelahiran.
Lantas hanya karena hal itu, Paus Innocent III
memerintahkan untuk membunuh para pengikut
Cathars di tahun 1209. Kota Beziers (Perancis)
pada tanggal 22 Juni 1209 pun dihancurkan.
Semua makhluk yang hidup di dalamnya pun
dibantai tanpa ampun. Jumlah korban menurut
catatan sejarah berkisar pada angka 70.000
manusia, angka itu termasuk jumlah pemeluk
Katolik yang menolak untuk menyerahkan
tetangga dan sahabatnya yang di kategorikan
bid’ah oleh Gereja.
Bid;ah lainnya yang juga dilakukan oleh
Waldensians, Paulikians, Runcarians, Josephite
dan lain-lain juga dienyahkan hingga tak
bersisa. Ratusan ribu orang kemudian mati tak
bernyawa oleh kekejeman pihak gereja. Bahkan
John Huss, yang mengkritisi "Papal
Infallibility" (Kemustahilan Paus berbuat salah)
dan Surat penebusan dosa, dibakar hidup-
hidup di tiang pancang pada tahun 1415.
Pembunuhan Terhadap Yahudi
Yang juga turut mengalami kekejaman selain
Islam adalah kaum Yahudi. Max Margolis dan
Alexander Marx dalam “A History of Jewish
People” menceritakan bahwa pada periode
612-620 M, banyak kasus terjadi dimana
Yahudi dibaptis secara paksa. Euric (680-687)
membuat keputusan bahwa seluruh orang
Yahudi yang dibaptis secara paksa ditempatkan
dibawah pengawasan khusus pejabat dan
pemuka gereja. Setelah diKristenkan secara
paksa, orang-orang Yahudi itu tetap diawasi
secara ketat oleh gereja, takut kalau-kalau
mereka kembali melakukan ibadah Yahudi.
Bahkan Raja Egica (687-701) membuat
keputusan bahwa semua Yahudi di Spanyol
dinyatakan sebagai budak. Keputusan sepihak
itu tidak saja berlangsung dalam satu sampai
dua tahun, namun untuk selamanya. Harta
benda kaum Yahudi disita dan mereka diusir
dari rumah-rumah sehingga tersebar ke
berbagai provinsi. Lebih dari itu anak-anak
Yahudi yang berumur tujuh tahun ke atas
diambil paksa dari orangtuanya dan diserahkan
kepada keluarga Kristen. [3]
Selanjutnya pada tahun 1096, saat Perang
Salib pertama, ribuan orang Yahudi dibunuh
oleh Salibis Kristen di kota Worm teparnya pada
tanggal 18 Mei 1906, di Mainz. Lalu pada
tanggal 27 Mei 1096 sekitar 1100 orang Yahudi
juga mengalami pembantaian.
Dalam Perang Salib itu, tercatat 12.000 orang
Yahudi dibunuh dimana tempatnya
membentang dari Worms, Mainz, Cologne,
Neuss, Altenahr, Wevelinghoven, Xanten,
Moers, Dortmund, Kerpen, Trier, Regensburg,
Prag hingga Metz di Perancis.
Sedangkan pada tahun 1348 nasib naas juga
dialami Yahudi, dua ribu orang diantara mereka
dibunuh di Bassel (Swiss) dan Strassbourg.
Sedangkan pada tahun 1349 diKita Praha, data
menyatakan bahwa 3000 orang Yahudi telah
tewas terbunuh. Sedang pada 42 tahun
selanjutnya, takni pada tahun 1391, kaum
Yahudi Seville habis oleh Kardinal Martines.
Dalam catatan sejarah tercatat sebanyak 4000
orang Yahudi tewas dan 25.000 lainnya dijual
sebagai budak.
Ternyata itu pun belum berakhir. Abad 15
adalah abad yang menjadi saksi pembantaian
besar-besaran kaum Yahudi dan muslim di
Spanyol dan Portugal. Pada tahun 1483
misalnya, 13.ooo orang Yahudi dieksekusi atas
perintah komandan inquisisi Spanyol, Faray
Thomas de Torquemada.
Jatuhnya Granada ke tangan Spanyol juga
berbuah ancaman bagi Yahudi. Hanya dalam
beberapa bulan antara akhir April sampai 2
Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum Yahudi
diusir dari Spanyol. Sebagian besar dari mereka
kemudian mengungsi ke wilayah Turki Utsmani
yang menyediakan tempat aman bagi Yahudi.
Stand J Shaw dalam “The Jews of the Ottoman
Empire and the Turkish Republic” mencatat
jumlah Yahudi yang terusir dari Spanyol tahun
itu sebanyak 160.000. Dari jumlah itu, 90.000
mengungsi ke Turki. 25.000 ke Belanda, 20.000
ke Maroko, 10.000 ke Prancis, 10.000 ke Italia
dan 5.000 ke Amerika. Yang mati dalam
perjalanan diperkirakan 20.000 orang.
Sedangkan yang dibaptis tetap di Spanyol
sebanyak 50.000 orang. [4]
Kekejeman Terhadap Muslim di Guantanamo
Dalam perkembangan modern, terror Kristen
pun tidak pernah berhenti. Kebencian mereka
terhadap Islam dilakukan dalam jejak-jejak
pemerintahan Amerika Serikat. Mereka tidak
saja membasmi jutaan umat muslim di
Afghanistan, Pakistan, Kaukasus, Somalia,
Palestina, Bosnia tapi juga menahan tawanan-
tawanan muslim di penjara terkejam di
Guantanamo. Umat muslim disiksa, dilecehkan,
namun lagi-lagi tidak ada yang menyebut
mereka dengan sapaan teroriss, bahkan
sampai detik ini.
Lawrence Wilkerson, asisten mantan Menteri
Luar Negeri AS Colin Powell, pernah membuat
pengakuan dalam suatu pernyataan yang
ditandatangani untuk mendukung gugatan yang
diajukan oleh seorang tahanan Guantanamo,
Adel Hassan Hamad.
Hamad, seorang pria Sudan yang ditahan di
Teluk Guantanamo sejak Maret 2003 sampai
Desember 2007, mengklaim bahwa dia
mengalami penyiksaan oleh agen-agen AS saat
berada di dalam tahanan dan mengajukan
gugatan terhadap beberapa nama pejabat
Amerika.
Menurut Wilkerson, baik Dick Cheney maupun
Donald Rumsfeld sebenarnya mengetahui
bahwa sebagian besar dari 742 tahanan yang
pertama kali dikirim ke Guantanamo pada tahun
2002 adalah mereka yang tidak bersalah, tetapi
yakin bahwa ada kemungkinan untuk
membiarkan para tahanan itu bebas.
Wilkerson, yang menjabat sebagai kepala staf
Powell sebelum ia meninggalkan pemerintahan
Bush tahun 2005, mengklaim bahwa sebagian
besar tahanan, yang terdiri dari anak-anak
berumur 12 hingga kakek-kakek setua 93
tahun, tidak pernah melihat seorang tentara AS
sebelumnya, kecuali setelah mereka ditangkap.
Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa
Rumsfeld dan Cheney pada khususnya, tidak
punya belas kasihan bagi orang yang tak
bersalah dan harus mendekam di Guantanamo
selama bertahun-tahun, serta harus mengalami
penderitaan hanya demi kepentingan AS untuk
membenarkan perang melawan terornya.
“Dia (Cheney) sama sekali tidak memiliki
kekhawatiran bahwa sebagian besar tahanan
Guantanamo itu tidak bersalah … Jika ratusan
individu yang tidak bersalah harus menderita,”
kata Wilkerson.
Selanjutnya, Mohammad al-Kahtani, tersangka
ke-20 peledakan serangan 11 September yang
ditahan di Teluk Guantanmo, Kuba dalam
sebuah catatan harian penjara mengaku
dipaksa telanjang sambil menirukan
gonggongan anjing saat menjalani penyidikan.
Saat tengah malam, kepala Kahtani kerap
digebyuri air dan telinganya dijejali musik-musik
keras karena mendadak harus menjalani
pemeriksaan. Permintaannya untuk shalat
senantiasa ditolak.
Selain itu, warga Arab Saudi ini juga
diinterogasi di sebuah ruangan yang didekorasi
dengan gambar-gambar korban 11 September.
Sudah tak terhitung berapa kali dia harus
kencing di celana karena ketakutan. Harga
dirinya juga dicabik-cabik ketika lehernya
dikalungi gambar wanita setengah bugil.
Sampai pernah suatu saat dia minta
diperbolehkan bunuh diri.
Gambar-gambar yang sangat mengagetkan
dunia, mengenai bagaimana para tahanan
diperlakukan pernah beredar di awal tahun
2002 silam. Kondisi mereka lemah, dalam
pakaian oranye yang menyala, mata, mulut, dan
telinga disekap, kedua tangan dan kaki dirantai.
Sel-selnya seperti kandang ayam. Kawat-
kawat berduri melintang ke sana kemari siap
merobek kulit dan daging.
Selanjutnya, Mohammed Sagheer, 52 tahun,
seorang da’i Pakistan yang telah dikeluarkan
dari Guantánamo juga menglima terror mental.
Para sipir penjara menurutnya menggunakan
obat untuk mengendalikan para tahanan.
Sagheer menyatakan bahwa para tentara itu
memberi tahanan sebuah tablet yang akan
membuat para tahanan tak sadarkan diri.
“Saya sembunyikan tablet-tablet itu di bawah
lidah, lalu membuangnya begitu penjaga tidak
melihat,” katanya. Sagheer mengaku dua kali
dihukum di sel isolasi yang gelap karena
meludahi penjaga, yang menurutnya telah
memprovokasinya dengan melempar Qur’an
dan memukulinya.